Kamis, 21 Juni 2012

Dua benih

Alkisah, di sebuah lahan pertanian yang tanahnya siap ditanami terdapat dua benih tanaman yang berbaring bersebelahan.


Benih pertama berkata, "Aku ingin bertumbuh! Aku ingin akar-akarku menerobos ke dalam tanah di bawahku, dan mendorong tunasku menembus lapisan tanah di atasku. Aku ingin mengembangkan pucukku yang lembut seperti daun bunga untuk mengumumkan kedatangan musim berbunga. Aku ingin merasakan kehangatan sinar matahari di wajahku dan berkah embun pagi di kelopakku!"


Jadilah benih itu bertumbuh...

Benih kedua berkata, "Hmmm... Kalau akar-akarku menerobos ke dalam tanah, aku tidak tahu apa yang akan aku temui di kegelapan itu. Kalau aku memaksa menembus lapisan tanah yang keras di atasku, aku mungkin akan merusak tunasku yang lembut. Bagaimana kalau aku membiarkan tunasku terbuka dan seekor siput mencoba memakannya? Dan bagaimana kalau begitu aku membuka bungaku, seorang bocah mencabutnya dari tanah. Tidak ah, lebih baik kalau aku menunggu hingga keadaannya baik."


Jadilah benih kedua ini menunggu saat yang tepat...


Tak jauh dari tempat ditanamnya benih itu, tampak seekor ayam betina sedang mengorek-ngorek tanah untuk mencari makanan. Dan akhirnya si ayam itu menemukan benih kedua yang tadi tengah menunggu waktu yang tepat. Lalu, si ayam itu langsung memakannya.


*** >>>>


Apa yang terjadi pada benih kedua dalam kisah di atas bisa menjadi gambaran tepat sikap menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin selalu dipelihara oleh kebanyakan dari kita. Kita tak jarang mengira akan datang kesempatan lain di waktu yang lebih tepat, tapi seperti halnya yang dialami benih kedua, kita pada akhirnya tahu bahwa dugaan kita itu bisa sangat keliru dan bisa berakibat fatal.

Karena itu, jika saat ini kita mendapat peluang (misalnya untuk menunjukkan kinerja terbaik kita di sekolah, kampus atau di tempat kerja atau peluang untuk mengerjakan suatu proyek tertentu berskala besar), segera ambil peluang itu sebagai langkah pembelajaran kita guna meraih sesuatu yang lebih besar di kemudian hari.

Jangan tunggu "waktu yang lebih tepat" di esok hari karena tiada waktu yang lebih baik selain SAAT INI juga!


Ombak besar dan ombak kecil

Alkisah, di tengahsamudra yang luas, saat air laut pasang, tampak ombak besar bergulung-gulung dengan gemuruh suaranya yang menggelegar, seakan ingin menyatakan keberadaan dirinya yang besar dan gagah perkasa.

Sementara itu, jauh di belakang gelombang ombak besar, terdengar gemericik suara ombak kecil bersusah payah mengikuti jejak si ombak besar. Tertatih-tatih, mengekor hempasan ombak besar. Si ombak kecil merasa dirinya begitu kecil, lemah, tidak berdaya, dan tersisih di belakang. Sungguh, terasa menyakitkan.
Dengan suaranya yang lemah, kurang percaya diri, ombak kecil bertanya kepada ombak besar. Maka sayup-sayup, terdengar serangkaian percakapan di antara mereka.
"Hai ombak besar...! Aku ingin bertanya kepadamu...!! Mengapa engkau begitu besar, begitu kuat, dan gagah perkasa? Sementara lihatlah diriku... begitu kecil, lemah, dan tidak berdaya. Aku ingin seperti kamu!"
Ombak besar pun menjawab, "Sahabatku, kamu mengganggap dirimu kecil dan tidak berdaya. Sebaliknya, kamu mengganggap aku begitu hebat dan luar biasa. Anggapanmu itu muncul karena kamu belum sadar dan belum mengerti jati dirimu yang sebenarnya!"
"Jati diri? Kalau jati diriku bukan ombak kecil, lalu apa...?" timpal ombak kecil.
Ombak besar meneruskan, "Memang di antara kita terasa berbeda, tetapi sebenarnya jati diri kita adalah sama! Kamu bukan ombak kecil, aku pun juga bukan ombak besar. Ombak kecil dan ombak besar adalah sifat kita yang sementara. Jati diri kita yang sejati adalah air. Bila kamu bisa menyadari bahwa kita sama-sama air, maka kamu tidak akan menderita lagi. Kamu adalah air, setiap waktu kamu bisa menikmati menjadi ombak besar seperti aku: kuat, gagah, dan perkasa."
Sebagai manusia, sering kali kita terjebak dalam kebimbangan akibat situasi sulit yang kita hadapi. Yang sesungguhnya, itu hanyalah pernak-pernik atau tahapan dalam perjalanan kehidupan. Seringkali kita memvonis (keadaan itu) sebagai suratan takdir, lalu muncullah mitos: "Aku tidak beruntung", "Nasibku jelek", "Aku orang gagal". Bahkan ada yang menganggap kondisi tersebut sebagai bentuk ketidakadilan Tuhan!
Dengan memahami bahwa jati diri kita adalah sama-sama manusia, tidak ada alasan untuk merasa kecil dan kerdil dibandingkan dengan orang lain. Karena sesungguhnya, kesuksesan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bukan monopoli orang-orang tertentu. Jika orang lain bisa sukses, kita pun juga bisa sukses!

Kesadaran tentang jati diri, bila telah ditemukan, maka di dalam diri kita akan timbul daya dorong dan semangat hidup yang penuh gairah; sedahsyat ombak besar di samudra nan luas, siap menghadapi setiap tantangan dan mengembangkan potensi terbaik demi menapaki puncak tangga

Hidup adalah Sebuah Perjalanan

Dulu, ada seorang Kaisar yang mengatakan pada seorang penunggang kuda, bahwa jika dia bisa menjelajahi daerah seluas apapun, maka Kaisar akan memberikan kepadanya daerah seluas yang sanggup dijelajahinya itu. Kontan si penunggang kuda itu melompat ke punggung kudanya dan melesat secepat mungkin untuk menjelajahi dataran seluas mungkin. Dia melaju dan terus melaju, melecuti kudanya untuk lari secepat mungkin untuk menjelajahi dataran seluas mungkin. Ketika lapar dan letih, dia tidak berhenti untuk makan dan minum karena dia mau memiliki tanah yang luas.

Akhirnya ia tiba pada suatu tempat setelah berhasil menjelajahi daerah cukup luas, tetapi ia sudah sangat lelah dan hampir mati. Lalu dia berkata terhadap dirinya sendiri, "Mengapa aku paksa diri begitu keras untuk menguasai tanah yang seluas ini? Kini aku sudah sekarat dan hampir mati. Aku hanya butuh tanah seluas 2 meter untuk menguburkan diriku sendiri."
Cerita ini mirip dengan perjalanan hidup kita. Kita cenderung memaksa diri sangat keras tiap hari untuk mencari uang, kuasa, dan keyakinan diri. Kita cenderung mengabaikan kesehatan kita, waktu bersama keluarga, dan kesempatan mengagumi keindahan di sekeliling kita. Kita cenderung mengabaikan kehidupan rohani kita. Kita cenderung tidak memikirkan dengan serius hidup kita sesudah mati.



Bertafakur adalah pelita kalbu.
Bila ia pergi tiada lagi cahaya yang menerangi