Jumat, 01 Agustus 2014

Rajin Olahraga Tapi Juga Sering Duduk Kelamaan? Sama Saja Bohong

Jakarta, Jika kebiasaan duduk berlama-lama sebelumnya dikatakan dapat diatasi dengan 'menyelipkan' aktivitas fisik ringan. Maka kini sebuah studi terbaru menyebutkan bahwa manfaat aktivitas fisik bisa hilang jika kebiasaan duduk berlama-lama tetap dilakukan. Oleh sebab itu, para peneliti menyebutkan bahwa mereka yang jarang duduk dan lebih sering berdiri atau berjalan-jalan dapat mengurangi risiko obesitas dan diabetes tipe 2. Untuk membuktikan teori ini, para peneliti mengamati efek dari kebiasaan hidup yang tak aktif seperti menonton TV, menjahit atau duduk di meja kerja, pada 4.000 responden selama periode 5 dan 10 tahun.
Setelah 5 tahun, mereka yang menghabiskan kurang dari 12 jam duduk dalam seminggu dan lebih dari 4 jam berolahraga memiliki seperempat risiko obesitas lebih rendah dibandingkan mereka yang duduk lebih dari 25 jam seminggu dan melakukan aktivitas fisik kurang dari 90 menit. Menurut para peneliti, ini mungkin karena duduk tak mendukung manfaat sehat dari olahraga. Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Diabetologia ini juga menyebutkan bahwa mengurangi kebiasaan duduk dapat memangkas perkembangan faktor risiko metabolik, seperti diabetes. "Efektivitas aktivitas fisik untuk mencegah obesitas mungkin tergantung pada seberapa banyak Anda duduk di waktu luang Anda. Mengurangi waktu duduk dan meningkatkan aktivitas fisik diperlukan untuk mengurangi risiko menjadi gemuk," ungkap salah satu penulis peneliti, Dr Joshua Bell. Seperti dikutip dari ABC Australia, Jumat (1/8/2014), jika sebelumnya Anda terbiasa duduk berlama-lama sambil menonton TV misalnya, segera ubah kebiasaan tersebut. Salah satunya dengan tak menggunakan remote jika ingin mengganti saluran TV. Selain itu, jika memungkinkan sesekali cobalah berdiri dan lakukan peregangan. (ajg/up)

Hati-hati! Pekerja Shift Malam Lebih Berisiko Kena Diabetes Tipe 2

Jakarta, Risiko diabetes kini semakin meningkat terutama diabetes tipe 2. Tidak hanya orang yang mengalami obesitas yang berisiko tinggi mengalami diabetes, tetapi orang-orang dengan rotasi jam kerja yang tidak menentu alias kerja shift. Studi terbaru menunjukan orang yang bekerja dengan sistem rotasi shift lebih berisiko mengalami diabetes tipe 2. Penemuan ini telah dipublikasikan dalam Occupational and Enviromental Medicine. Penelitian ini berangkat dari pemikiran mengenai risiko diabetes tipe 2 yang dipengaruhi oleh lingkar pinggang, hormon dan jam tidur.
Di Inggris, 45 dari 1.000 orang terkena diabetes tipe 2. Studi ini dilakukan di Huazhong University of Science and Technology di China. Hasilnya, diketahui 9% dari pekerja shift malam merupakan penyandang diabetes tipe 2. Alasan diabetes mungkin dialami para pekerja shift ini karena jadwal makan dan tidur yang berantakan. Makan pada malam hari membuat tubuh lebih mudah menyimpan energi sebagai lemak. Hal ini juga mendukung obesitas yang erat kaitannya dengan diabetes tipe 2. "Para pekerja dengan sistem shift harus sadar akan risiko ini yang sangat mungkin berkembang menjadi diabetes tipe 2. Satu-satunya menurunkan risiko ini didapat dari olahraga dan makanan," kata pakar diabetes dari Inggris, Dr Alasdair Rankin, demikian dikutip dari BBC, Jumat (1/8/2014). Pencegahan diabetes harus dilakukan dari sekarang. Apalagi, jam kerja dengan sistem shift bisa menjadi beban bagi para diabetasi. Risiko diabetes pada laki-laki diketahui sebesar 35%. Namun, bagi laki-laki yang bekerja dengan metode rotasi shift, biasanya risiko meningkat hingga 42%. Para pekerja dengan sistem shift dianjurkan untuk mengonsumsi makanan sehat serta menerapkan pola makan yang baik. Seperti diketahui, diabetes dapat menyebabkan kebutaan, risiko serangan jantung dan stroke karena rusaknya saraf dan aliran darah. Dalam kondisi tertentu diabetes dapat menyebabkan kelumpuhan. (ajg/up)

Uang Bukanlah Segalanya ?

Di zaman yang maju sekarang, tidak bisa dipungkiri dan dielakan, sepertinya banyak yang memang bisa diselesaikan dengan uang. Meskipun banyak juga yang katanya tidak bisa dibeli oleh uang. Akibatnya, semakin banyak juga manusia yang seperti “mendewakan” uang. Munculah “penyakit-penyakit” baru yang berhubungan dengan uang, antara lain Shopaholic alias “penyakit” gila belanja. Berdasarkan pengalaman melayani nasabah/klien yang punya masalah inilah, yang memicu saya selama 3 tahun terakhir ini untuk mendalami ilmu tentang otak manusia dan alam bawah sadar (subconcious). Dan hal ini menjadi semakin menarik karena ternyata banyak dari hal-hal yang terjadi di dalam kehidupan kita dikarenakan sudut pandang baik dan buruk tentang uang. Nah, ketika saya menyebut kata tersebut, apa yang kemudian ada di dalam pikiran anda? Jawabannya tentu berbeda-beda tergantung persepsi dari setiap orang yang berbeda. Banyak orang yang berpikiran tentang uang adalah mau kaya, senang, bahagia, bisa beli apapun yang diinginkan, dan lain-lain. Tapi tidak sedikit juga orang yang berpikir bahwa uang itu sumber bencana, perpecahan keluarga, bikin repot, tabu dan hal negatif lainnya yang berhubungan dengan uang. Seperti banyak hal lainnya, selalu ada 2 sisi mata uang dalam hal menilai sesuatu, termasuk masalah uang ini. Kembali yang paling penting adalah bagaimana kita melihat uang itu untuk menjadikan hal yang positif di dalam kehidupan kita dan berguna bagi orang lain. Pengalaman-pengalaman masa lalu lah yang kemudian membentuk persepsi kita tentang uang. Sebagai contoh, apabila kita di waktu kecil anda sering melihat orang tua kita ribut membicarakan masalah uang, maka bisa jadi terbentuk persepsi bahwa uang itu adalah hal yang jahat dan membuat orang ribut. Sehingga memiliki uang bukanlah suatu hal yang baik bagi diri anda. Atau berapa banyak dari kita yang ketika kecil tidak diberikan uang jajan atau diberi uang jajan harian tanpa diberikan arahan bagaimana cara mempergunakannya. Persepsi dan mental yang kemudian dapat terbentuk adalah, anda bisa menggunakan dan menghabiskan uang tersebut setelah diberi, karena besok akan ada uang jajan lagi untuk dihabiskan. Itulah sebabnya tidak heran kalau kemudian banyak dari masyarakat Indonesia yang masuk ke dalam kategori konsumtif. Memang tidak semua orang akan mendapatkan dampak yang sama, akan tetapi risiko hal tersebut terjadi bisa saja di diri kita atau di diri orang-orang yang kita sayangi. Itulah pentingnya untuk mulai belajar tentang keuangan sedini mungkin baik secara sadar (concious) maupun melalui alam bawah sadar (subconcious) agar kita mempunyai persepsi yang positif dan produktif dengan kehidupan dan keuangan kita di masa sekarang dan masa depan. :: source detik.com